Romo Kolim menjelaskan bahwa peringatan ini memperingati pertemuan 1.250 biksu yang telah mencapai kesucian arahat, dan mereka ditahbiskan langsung oleh Para Buddha. Pada kesempatan itu, Para Buddha menyampaikan khotbah Ovāda Pāṭimokkha, yang menekankan pentingnya tidak hanya berbuat baik, tetapi juga memiliki pandangan yang benar.
Romo Kolim mengilustrasikan pesan ini melalui kisah Robin Hood, yang meskipun bertujuan baik dengan berbagi kepada sesama, tetapi tindakannya mencuri merugikan orang lain. (Wirawan)
Dia menekankan pentingnya memahami perasaan saat ini sebagai kunci untuk hidup dengan kejernihan, serta menjadikan profesi sebagai bagian dari Jalan Bodhisattva untuk mencapai stabilitas dan kebahagiaan dalam kehidupan yang semakin rumit. (Wirawan)
Awalnya, pesan tisarana diperkenalkan kepada enam puluh bhikkhu yang hendak menahbiskan diri sebagai murid Buddha, dan kemudian diteruskan kepada umat rumah tangga yang ingin menempuh jalan spiritual.
Dalam penjelasannya, Bhante Bhadra Jotika menggunakan ilustrasi yang menarik, membandingkan peran Buddha dalam menyampaikan ajaran Dharma dengan seorang bhikkhu yang memberikan makanan kepada orang yang lapar.
Bhante mengajak umat Buddha untuk bersyukur atas ajaran yang telah diberikan oleh Buddha, karena petunjuk yang jelas tersebut membawa kita menuju kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Ia menegaskan pentingnya tidak meragukan tisarana yang telah diambil, karena itulah yang membawa kita menuju alam bahagia.
Ceramah Bhante Bhadra Jotika memberikan pemahaman mendalam tentang makna dan pentingnya tisarana dalam ajaran Buddha. Diharapkan, hal ini dapat memberi inspirasi dan motivasi bagi umat Buddha untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berarti. (Wirawan)
Romo Bachtiar Ismail, dalam ceramah di Kebaktian Wihara Ekayana Serpong pada 21 Januari 2024, menyoroti pentingnya pelayanan dalam praktik agama Buddha. Di Myanmar, umat Buddha menerapkan konsep pelayanan sosial di berbagai aspek kehidupan.
Pelayanan dilakukan di antara orang tua dan anak, guru dan murid, suami dan istri, sesama kerabat, para Brahmana, hingga majikan dan bawahan. Misalnya, anak-anak di Myanmar tetap aktif merawat orang tua mereka, bahkan ketika sudah dewasa. Guru membantu murid mencari pekerjaan, dan murid menghormati guru seperti orang tua mereka.
Di Myanmar, pelayanan dilakukan dengan penuh dedikasi. Bahkan, ada contoh perempuan yang tanpa pamrih membantu dalam kebersihan wihara meskipun berisiko mengotori pakaian mereka. Umat Buddha di sana selalu berupaya mencari kesempatan untuk melayani, jika ditolak, mereka memohon kesempatan untuk berdana dan melayani.
Meskipun pelayanan memiliki dampak besar dalam ajaran Buddha, kita juga harus bijaksana dalam melakukannya. Kita tidak boleh hanya melayani orang lain, tapi juga keluarga sendiri. Dengan melayani dengan tulus dan tanpa henti, kita akan mencapai kesempurnaan dalam menjalani ajaran Buddha. (Andy Herman)