Sejarah

Sejarah Wihara Ekayana Serpong

Wihara Ekayana Arama – Indonesia Buddhist Centre dan Wihara Ekayana Serpong adalah salah satu pusat belajar, berlatih, dan pelayanan agama Buddha. Saat ini selain sebagai tempat tinggal para monastik yang tergabung dalam Sangha Agung Indonesia, juga merupakan tempat kegiatan umat Buddha dan tempat penyebaran Dharma ke seluruh Indonesia.

Menyadari adanya kesenjangan antara Dharma yang diketahui dan Dharma yang dipraktikkan, Wihara Ekayana berupaya menjaga Dharma yang hidup melalui penerapan praktik sadar-penuh dalam berbagai aktivitas. Dharma yang hidup adalah Agama Buddha Inti, warisan sesungguhnya dari Buddha Sakyamuni. Saat enam puluh biksu yang telah menjadi Arahat ditugaskan Buddha untuk menyebarkan Dharma, belum banyak Dharma lisan yang disampaikan dan belum ada Dharma tulisan. Di tengah berbagai metode pelatihan diri yang kini tersedia bagi umat manusia, Agama Buddha Inti adalah Jalan Tunggal (Ekayana) yang sekaligus menunjukkan kesatuan dari agama Buddha.

Dalam pembacaan sutra, paritta, mantra, atau nama Buddha, pengikut Jalan Tunggal menjalankannya sebagai praktik sadar-penuh. Dalam mendengar ceramah Dharma atau membaca buku Dharma, pengikut Jalan Tunggal menjalankannya sebagai praktik sadar-penuh. Dalam pelatihan meditasi atau retret, pengikut Jalan Tunggal menjalankannya sebagai praktik sadar-penuh. Dalam melakukan aksi pelayanan sosial, pengikut Jalan Tunggal menjalankannya sebagai praktik sadar-penuh.

Para monastik Wihara Ekayana merupakan kelanjutan yang tak terputus dari Buddha Sakyamuni. Melalui silsilah perguruan Chan Linji dan Nanshan Guanghua (Kong Hua Sie), serta kedatangan Mahabiksu Aryamula Benqing untuk menetap di Indonesia lahirlah generasi dari Buddhayana Indonesia (Sangha Agung Indonesia), yaitu Mahabiksu Ashin Jinarakkhita, Biksu Dharmaji Uggadhammo, dan Biksu Aryamaitri beserta murid-murid, cucu-cucu murid, dan cicit-cicit muridnya.

Chan (atau Zen dalam bahasa Jepang) berasal dari kata Sanskerta “Dhyana”, oleh karena itu realisasi pengalaman langsung melalui Dharma praktis dan meditasi dalam kehidupan sehari-hari menjadi ciri perguruan Chan. Chan dibawa ke Tiongkok oleh Y.A. Bodhidharma, seorang pangeran India yang menjadi biksu. Pada awalnya ajaran Y.A. Bodhidharma ini disebut Ekayana (Jalan Tunggal) dari India. Ekayana diajarkan dalam Sutra Lankavatara, sutra yang terkait erat dengan Y.A. Bodhidharma. Namun istilah Ekayana kemudian tidak banyak digunakan, ajaran Y.A. Bodhidharma lebih dikenal sebagai perguruan Chan dan Y.A. Bodhidharma menjadi Sesepuh Tiongkok yang pertama.

Chan tersebar dengan cepat melalui Sesepuh Tiongkok yang ke-6, Y.A. Hui Neng. Dalam perjalanan waktu, Chan mengisi peradaban Tiongkok, mengangkat pemikirannya, budayanya, dan seninya ke ketinggian yang maha mulia. Terdapat lima perguruan yang muncul dari garis keturunan spiritual Y.A. Hui Neng. Dari lima perguruan tersebut, yang saat ini masih terus berkembang adalah Linji dan Caodong. Y.A. Linji Yixuan merupakan sesepuh pertama Perguruan Linji. Dari perguruan Linji, muncullah sub-perguruan Nanshan Guanghua, dengan Y.A. Shan-he sebagai sesepuh pertamanya.

Y.A. Shan-he adalah seorang biksu yang pada tahun 1890 berhasil membangun kembali Kong Hua Sie (Guanghua Shi) yang terletak di pinggir kota Putian, Provinsi Fujian, Tiongkok. Sebelumnya bangunan wihara yang didirikan pertama kali pada tahun 558 itu dalam kondisi rusak berat dan hanya tinggal dua orang biksu yang menetap di sana.

Salah seorang dari generasi ke-4 sub-perguruan Nanshan Guanghua, yaitu Y.A. Benqing (Pen Ching) pada tahun 1901 menjejakkan kakinya pertama kali di bumi Indonesia. Sebelum bertempat tinggal di Jakarta, beliau sempat berkunjung dan menata wihara-wihara: Thay Kak Sie (Semarang), Hiap Thian Kiong (Bandung), Tiau Kak Sie (Cirebon), Kuan Ti Bio (Karawang), dan lain-lain. Pada tahun 1926 beliau berdiam di Cetya Yi-Lian Thang, Jakarta, milik seorang biarawati tua. Melihat keteladanan beliau dalam melatih diri menjalankan kehidupan yang suci dan sederhana, cetya ini kemudian dipersembahkan oleh biarawati tua tersebut kepada beliau. Dengan dukungan banyak umat, beliau kemudian membangunnya menjadi Wihara Kong Hua Sie di Indonesia.

Wihara Kong Hua Sie di Jakarta berdiri pada tahun 1950, dalam prasasti tercantum nama tiga biksu yang meresmikannya, yaitu Y.A. Pen Ching, Y.A. Thi Phan (dari Thay Kak Sie Semarang), dan Y.A. Yuan Ren (dari Thay Hin Bio Lampung). Di wihara inilah pada tahun 1953, di hari peringatan Kesempurnaan Bodhisattwa Awalokiteswara, Samanera Thi Cen (Tizheng)—yang kemudian dikenal sebagai Y.A. Ashin Jinarakkhita, pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia—ditahbiskan oleh Y.A. Pen Ching. Saat ini penanggung jawab Wihara Kong Hua Sie adalah Y.A. Aryamaitri.

Berpegang pada Agama Buddha Inti, para biksu Kong Hua Sie tidak sektarian. Sebagai contoh, untuk menjaga agar pikiran tidak mengembara, metode merapal nama Buddha Amitabha juga digunakan. Semangat non-sektarian juga ditunjukkan oleh Y.A. Benqing ketika mengirim muridnya ke Myanmar untuk belajar meditasi dan menerima penahbisan sebagai biksu dari Y.A. Mahasi Sayadaw, guru meditasi wipassana dengan reputasi internasional.

Y.A. Ashin Jinarakkhita, yang merupakan pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia, dengan demikian memiliki dua guru penahbis, yaitu Y.A. Benqing (praktisi Chan Mahayana) dan Y.A. Mahasi Sayadaw (praktisi Wipassana Therawada). Selain berkeliling ke daerah-daerah yang melahirkan wihara-wihara dan memberikan bimbingan meditasi yang melahirkan para pandita, Y.A. Ashin Jinarakkhita juga memadukan Therawada dan Mahayana dalam gerakan Buddhayana untuk menghadirkan Agama Buddha Indonesia, yaitu agama Buddha yang esensial dan kontekstual.

Salah seorang murid dari Y.A. Ashin Jinarakkhita, yaitu Y.A. Uggadhammo adalah biksu yang aktif menyebarkan agama Buddha dengan cara-cara yang membumi. Agama Buddha Indonesia menurut Y.A. Uggadhammo adalah agama Buddha universal yang membumi. Selain berceramah ke berbagai daerah dengan tema kehidupan sehari-hari yang mudah dipahami, Y.A. Uggadhammo juga banyak menulis naskah Dharma dan menerjemahkan buku-buku Dharma. Sebagai seniman, Y.A. Uggadhammo juga menulis puisi dan mengubah lagu-lagu Buddhis. Sebelum menjadi biksu, Y.A. Uggadhammo adalah seorang pandita di Wihara Mahabodhi Semarang.

Y.A. Aryamaitri, Kepala Wihara Ekayana, menjadi biksu dengan guru Y.A. Uggadhammo, dan menerima transmisi sila bodhisattwa dari Y.A. Pai Sheng, President World Buddhist Sangha Council (WBSC). Lima tahun pertama sebagai biksu, Y.A. Aryamaitri aktif berkeliling di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Selanjutnya ketika terpilih sebagai Sekjen Sangha Agung Indonesia, Y.A. Aryamaitri aktif berkeliling ke hampir seluruh Indonesia, terutama untuk memberikan pengarahan baik kepada umat Buddha di daerah maupun kepada para pengurus wihara, yayasan, dan Majelis Buddhayana Indonesia setempat. Mereka yang pernah mendengarkan pengarahan Y.A. Aryamaitri, termasuk para biksu murid-muridnya, menilai bahwa Y.A. Aryamaitri sangat piawai dalam memberikan pengarahan, apa yang disampaikan selalu tepat dan akurat baik dalam permasalahannya maupun dalam solusinya. Sebagai orang yang dekat dengan Y.A. Ashin Jinarakkhita, penerapan agama Buddha inti yang membumi juga menjadi visi Y.A. Aryamaitri. Wihara Ekayana Arama yang dipimpinnya mempunyai visi menjadi pusat pengembangan agama Buddha yang esensial dan kontekstual. Saat ini Y.A. Aryamaitri juga menjabat sebagai Vice President World Buddhist Sangha Council (WBSC).

Dalam mewujudkan visi dan misi Wihara Ekayana Arama, selain dibantu oleh murid-muird dan cucu-cucu muridnya, Y.A. Aryamaitri didampingi oleh Y.A. Dharmavimala selaku wakil kepala. Y.A. Dharmavimala adalah murid Y.A. Yuan Zhuo (Sesepuh Wihara Kong Hua Sie di Tiongkok) dan cucu murid Y.A. Thi Phan dari Wihara Thay Kak Sie Semarang. Y.A. Thi Pan adalah murid dari Y.A. Pen Ru, saudara seperguruan Y.A. Pen Ching. Beserta murid-muridnya, Y.A. Pen Ru datang ke Indonesia untuk melanjutkan pembinaan di wihara-wihara yang telah ditata oleh Y.A. Pen Ching.

Murid-murid dan cucu-cucu murid Y.A. Aryamaitri yang sebelumnya belajar, berlatih, dan mengabdi di Wihara Ekayana Arama, kini telah banyak yang mengabdikan diri di wihara-wihara dan kota-kota lain di Indonesia, mulai dari Medan sampai Makassar. Wihara Ekayana Arama juga mendukung pembangunan sejumlah wihara baru di Tangerang termasuk Wihara Ekayana Serpong yang diresmikan pada tanggal 17 Desember 2017 oleh Menteri Agama Republik Indonesia, setelah mengetahui terdapat persamuhan umat Buddha yang bersemangat. Buku-buku terbitan Dian Dharma dan Karaniya telah membantu pemahaman Dharma umat Buddha di seluruh Indonesia. Bursa Prapanca yang menyediakan buku-buku Dharma, CD/VCD/DVD, rupang Buddha/Bodhisattwa, dan asesoris Buddhis lainnya, selain melayani umat di Wihara Ekayana, juga melayani umat dari luar daerah serta bursa-bursa dari wihara lain di seluruh Indonesia. Pusdiklat Agama Buddha Indonesia yang diketuai Maha Upasaka Pandita Krishnanda Wijaya-mukti telah mengadakan kursus dan retret di berbagai provinsi. Wihara Ekayana juga berbagi ke daerah manakala mengundang guru Dharma dari luar negeri.